Indonesia Bicara

Indonesia Bicara

Kamis, 21 Juni 2012

Asas Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan



Prospek penegakan hukum dibidang pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup saat ini tengah berada dalam kondisi yang riskan (Wihardandi, 2012). Meksipun DPR bersama Presiden telah menetapkan UU. 32 tahun 2009, hal ini bukanlah angin segar bagi proses rehabilitasi lingkungan Indonesia. Bagaimana tidak, masih kerap muncul konflik antara masyarakat lokal dengan pengusaha maupun pemerintah terkait sumber-sumber pengelolaan lingkungan. Disisi lain, pembangunan berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan sumber-sumber daya sosial sebagai modal dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Kurangnya perlindungan atau penghormatan terhadap kearifan lingkungan yang dikembangkan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman para pihak terkait (stakeholders) dan tidak adanya alur informasi yang baik mengenai manajemen pengelolaan lingkungan.
Sejumlah konflik yang muncul mengenai lingkungan lebih banyak melibatkan masyarakat adat dengan masyarakat lain  yang tidak mengenal kearifan lokal suatu masyarakat tentang bagaimana mengelola lingkungannya secara tradisional termasuk pelarangan pemilikan tanah secara adat. Karena itu, langkah yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan kearifan lingkungan adalah dengan mengkaji kembali tradisi yang ada di masyarakat tentang usaha mereka untuk mewujudkan keseimbangan kehidupan dengan lingkungannya. Tradisi dan aturan lokal yang tercipta dan diwariskan turun menurun untuk mengelola lingkungan merupakan materi penting bagi penyusunan kebijakan yang baru tentang lingkungan.
Dalam undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan dijabarkan mengenai asas pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan ekoregion dan kearifan lokal. Sedangkan dalam undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan dijabarkan juga bahwa pengurusan hutan harus memperhatikan dinamika aspirasi adat dan budaya. Secara formil, kedua kebijakan ini sudah ideal dan dapat melindungi hak asazi masyarakat/komunitas adat Indonesia (indigenous people). Namun secara praksis, undang-undang tentang kehutanan, pengelolaan lingkungan hidup, dan undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM mengalami banyak kendala. Pemerintah, pihak industri, LSM lingkungan, dan masyarakat belum memiliki prosedur yang jelas mengenai peran masing-masing pihak dalam suatu kawasan adat. Semua pihak melakukan penafsiran secara mandiri sehingga dalam hal pemanfaatan sumber daya alam dan pelaporan pelanggaran kerap terjadi kebingungan karena tidak memiliki aturan teknis yang jelas.
Realita yang ada saat ini membuktikan bahwa ketiga regulasi tersebut saling terpisah dan tidak memiliki unsur korelitas dalam hal penjabaran peran serta masyarakat dan pengakuan hak-hak masyarakat/komunitas adat. Tak ayal, 68 persen pelanggaran lingkungan hidup disebabkan karena konflik horizontal antara masyarakat dengan developer (Tribun, 2011). Hal seperti inilah yang tidak diinginkan bangsa ini ke depannya, mengingat kasus Mesuji dan Bima di awal tahun 2012 telah menciderai lokalitas budaya setempat dan berujung pada kasus pelanggaran HAM akibat pengelolaan lingkungan yang setengah hati.
Pemerintah seakan menutup mata begitu juga dengan LSM lingkungan hidup di dunia. Mereka hanya menuntaskan ranting masalah tanpa mengusut akar masalah yang ternyata berujung pada regulasi negeri ini. Masyarakat/komunitas adat dengan sistem pengelolaan tradisional atau kearifan tradisional memiliki peranan sangat penting dalam menjaga dan melestarikan alam serta lingkungan. Bahkan dalam kehidupan keseharian, sistem pengelolaan lingkungan secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat terbukti mampu menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Dapat diambil contoh,  pelestarian alam oleh masyarakat adat di Papua sudah dilakukan sejak dulu. Hal ini bisa dilihat dari tradisi upacara adat di masyarakat suku Tepera Distrik Depapre Kabupaten Jayapura. Masyarakat suku Tepera mengenal tradisi Tiyatiki untuk melakukan perlidungan dan pelarangan selama beberapa lama untuk tidak boleh mencari atau memancing ikan di wilayah tertentu yang sudah diberikan tanda pelarangan. Begitu juga dengan hak ulayat masyarakat adat Pulau Tiga Natuna yakni mengkeramatkan daerah-daerah tertentu, larangan membunuh atau menangkap hewan tertentu, penghormatan terhadap laut, pemeliharaan terumbu karang, dan penggunaan teknologi penangkapan sederhana.

2 komentar:

Terima Kasih Banyak buat yang udah comment, ngasi saran, kritik ato pesan-pesan