Indonesia Bicara

Indonesia Bicara

Sabtu, 19 Juni 2010

TEACHER PROFESIONALISM, IN THE NEW ERA


Education is the benchmark for the success of a nation. In fact, there is a strong correlation between education with the awakening of a nation. Growing a revolution and reformations in a country, almost certainly initiated by educated young people who have a high national spirit. Without the youth of the nationalist spirit, it is hard to imagine a new era of struggle which we call a national awakening.
The interference of youth in education was able to provide orientation on the development and give a positive contribution to the advancement of the nation. This was a same statement with the philosophy of education from JH. Abendanon, "If A Nation Want to Go, Everything Must Start of Education." However, the success and progress of education in Indonesia are now starting to be questioned. This was proved by the marginalization of ethics requires some knowledge on students. The students just seek a diploma/degrees and without looking at the real science entities.
In developed countries, we know that the prospect of education is  supported by modern facilities and an international learning system. Whereas in developing countries, such as in Indonesia, the success of education will be gained in step by step and it requires a process and time that’s not shortened.
The process of educational development in Indonesia is influenced by several factors, for example, is a lecturer / teacher and curriculum. According to UNESCO data, 41-63% of the world's educational success is directly affected by the professionalism of teachers. In Indonesia, there are two laws government of the education system and teachers. In Law no. 20/2003 on National Education System explained that the learning process should be implemented in an active, innovative, creative, effective, and fun. While the professionalism of teachers is regulated by Law no. 14/2005. In this law explained that professional teachers who have the intellectual ability, transfer knowledge ability, understanding students development, and creative (have the arts) in teaching.
From the explanation, a lot of critics from observers of education these days is the professionalism of teachers, especially in the second and fourth points of "transfer knowledge ability and have the art in teaching." Based on data from a survey institutions about the style of teaching high school teachers in several provinces in Indonesia, it is known that approximately 43% of teachers just teach with theory method, 23% of teachers teach with methods of recording, 18% of teachers teach with tasks, and 16% of teachers teaching with applicative methods / sharring (LSI, 2006).
From these data, it seems clear if the title of "developing country" is still carried by Indonesia because of the creativity of teachers in educating only in the last ranks. This is also a fact that the purpose of Law No. 20/2003 on the implementation of learning activities by using contextual teaching learning has not been realized. If we analyse about role and function of the ideal teachers is not only as an actor in the classroom but also a script writer, director, producer, even the figurant/supernumerary in a school activity. It means that the teacher sometimes can act as a promoter of knowledge, giver of the command when the learning progress, mediator when there is a problem in the subject, a provider of learning, and even companion for students during the learning process.

~ Hutan Kota, Solusi Jitu Menyelamatkan Lingkungan ~

Masyarakat dunia sedang akrab dengan istilah ‘global warming’ atau pemanasan global. Berbagai kalangan memfokuskan perhatiannya pada masalah ini karena sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia. Para penggiat lingkungan terus bekerja keras melakukan upaya-upaya rekonstruktif untuk menyelamatkan lingkungan dari ancaman kerusakan, bahkan kepunahan.

Pemanasan global dapat diartikan sebagai peningkatan suhu udara di permukaan bumi dan di lautan. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan suhu ini dimulai sejak abad ke-20 dan diprediksikan akan terus mengalami peningkatan. Fenomena ini disebut ’pemanasan global’. Namun sebagian besar ilmuwan menggunakan istilah perubahan iklim, dengan alasan bahwa yang terjadi sekarang ini tidak hanya persoalan bertambah panasnya suhu udara, tetapi juga terjadinya perubahan iklim yang sangat signifikan dan tak terduga-duga.
Apapun istilah yang dipakai, yang jelas isu pemanasan global kini menjadi isu sentral dimana setiap umat manusia di atas bumi ini memiliki tanggungjawab untuk mengatasinya. Tidak ada manusia, atau kelompok, atau bangsa yang bisa mengatakan bahwa mereka tidak harus bertanggung jawab akan kerusakan alam sekarang ini, karena semua makhluk di atas bumi ini berada dalam satu ’rahim’bumi. Tak terkecuali kita di Indonesia.
Indonesia menempati urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut biodiversity country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna, dan banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia. Ironisnya, penebangan hutan telah memperpanjang daftar jenis-jenis yang masuk dalam kategori kepunahan (endangered).
Hutan Indonesia juga merupakan hutan terbesar dan terkaya di Asia, namun berada dalam krisis yang sangat mengkuatirkan. Setiap tahun lebih dari 2 juta hektar hutan rusak dan musnah. Jika dibandingkan dengan luas lapangan sepak bola, maka 300 lapangan musnah setiap tahun! Informasi resmi menunjukkan bahwa penebangan liar diduga telah mencapai 17-30 juta m3 per tahun. Jumlah ini ekuivalen dengan 400.000-800.000 ha hutan ditebang secara liar setiap tahun.
Beberapa LSM melaporkan bahwa penebangan liar sudah mencapai 52 persen dari total produksi kayu bulat yang bersumber pada hutan alam. Industri perkayuan diperkirakan mampu menerima pasokan kayu bulat sampai 80 juta m3 per tahun. Sedangkan hutan alam secara resma hanya dapat memasok sekitar 29,5 juta m3 per tahun. Kekurangan yang besar dari pasokan resmi tersebut telah menciptakan celah terjadinya penebangan liar. Kerusakan hutan tidak hanya memusnahkan keanekaragaman hayati yang tidak akan tergantikan, tapi juga mengakibatkan meningkatnya pemanasan global. Sementara itu, sekitar 30 juta jiwa masyarakat Indonesia sangat menggantungkan hidup kepada sumber daya hutan.
Sesungguhnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi penebangan liar. Mulai dari mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bentuk Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) sampai pada ’pengerahan’ berbagai organisasi atau kelompok-kelompok pencinta lingkungan untuk melibatkan masyarakat agar aktif terlibat dalam penyelamatan lingkungan. Hasilnya pun tidak terlalu mengecewakan sebetulnya, dimana kita dapat melihat banyaknya kasus-kasus penebangan liar yang berhasil diseret ke pengadilan.
Masalahnya, semua upaya tersebut jelas belum optimal dan terpadu. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan jumlah kerusakan yang telah terjadi dan upaya perbaikan yang telah dilakukan, pesimisme segera terbayang, akankah kita mampu mengendalikan kerusakan hutan dalam jangka waktu sepuluh tahun ke depan? Salah satu upaya yang telah ditempuh pemerintah adalah dengan ide pengembangan hutan kota.
Hutan kota adalah suatu lahan yang bertumbuhkan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan, pada tanah negara yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dengan luas yang solid 0,4 hektar merupakan ruang terbuka hijau, pohon-pohon serta areal tersebut ditetapkan pejabat yang berwenang sebagai Hutan Kota. (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan, tahun 2002).
Menurut penulis, hutan kota sangat strategis menjadi fokus utama pemerintah dan masyarakat, karena ide ini lebih membumi dan manfaatnya langsung dirasakan. Apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia sesungguhnya berada di perkotaan. Tanpa mengabaikan pentingnya melestarikan hutan-hutan asli, hutan kota lebih mudah disosialisasikan pemanfaatannya pada masyarakat luas.
Jika kita berbicara tentang hutan yang sebenarnya, dapat dipastikan bahwa sebagian besar masyarakat akan menganggap bahwa itu bukan persoalan mereka. Masyarakat Indonesia secara tidak kasat mata memiliki karakter ’tidak terlalu perduli’ dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan dirinya. Itu sebabnya banyak kegagalan ditemui ketika kita berbicara mengenai pentingnya melestarikan hutan.
Hutan, bagi sebagian masyarakat Indonesia bukanlah tanggungjawab mereka, sekalipun disadari bahwa banyak komponen kehidupan mereka sangat bergantung pada hasil hutan. Hutan kota menjadi salah satu pilihan jitu menyelamatkan lingkungan karena beberapa hal:
1) Menciptakan kesejukan dan kenyamanan, karena dalam hutan kota terjadi proses fotosintesis yang mengubah CO2 di udara menjadi O2 dan H2O. Kemampuan tanaman dalam mengkonsumsi CO2 tersebut menurut Grey dan Deneke (dalam ’Urban Forestry’, 1998) setiap satu jam, satu hektar daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2, jumlah CO2 tersebut equivalen dengan jumlah CO2 yang dihembuskan oleh sekitar 200 orang dalam waktu yang sama pada saat bernafas.
2) Hutan kota berfungsi menjaga kesuburan tanah, karena partikel tanah pada hutan kota mengandung koloid tanah yang lebih baik dibanding tanah perkotaan. Koloid tersebut bermuatan positif sehingga mampu mempertahankan unsur hara yang ada dan melepaskannya sesuai dengan kebutuhan tanaman. Keberadaan unsur hara pada koloid tanah bersifat fleksibel, artinya dapat dipertukarkan dengan unsur hara sejenis yang lebih baik bila unsur hara yang ada sudah tidak memenuhi syarat lagi. Dengan demikian tanaman akan terus mendapatkan unsur hara yang terbaik untuk kebutuhannya (Mudyarso dan Suharsono, dalam ’Peranan Hutan Kota dalam Pengendalian Iklim Kota’, 1992).
3) Hutan kota berfungsi sebagai penyaring bagi bahan pencemar, karena partikel tanah yang mengandung koloid (dari bahan organik) mengandung ion-ion yang mampu menyerap logam berat atau bahan beracun lainnya yang terkandung dalam air. Pada hutan kota, koloid tanah yang ada akan mampu mengikat logam berat yang tercampur dalam air hujan seperti Cu dan Mg sehingga air yang masuk ke dalam tanah yang diserap oleh akar relatif berkurang banyak kandungan logam beratnya.
4) Hutan kota dapat mempertinggi daya resapan air dan menyimpannya di dalam tanah untuk kemudian dapat dipergunakan lagi sehingga terjadi siklus hidrologis.
5) Hutan kota juga berperan penting dalam konservasi tanah melalui pencegahan erosi. Erosi umumnya terjadi karena adanya aliran permukaan (run off) dari air hujan yang membawa partikel-partikel tanah dan bahan organik tanah sehingga tanah menjadi tandus. Pada areal hutan kota, run off tersebut tidak terjadi karena : adanya tumbuhan yang cukup rapat, adanya sistem perakaran, dan adanya bahan organik pada koloid tanah. Konsep hutan kota terbukti banyak berhasil mengatasi berbagai kerusakan lingkungan di negara lain.
Kehutanan Perkotaan (urban forestry) bahkan menjadi suatu cabang ilmu sejak disadarinya bahwa sangat penting mempelajari lingkungan, khususnya pohon, baik mengenai budidayanya, pengelolaannya, maupun fungsi dan kegunaannya secara phisiologik, sosial dan ekonomi terhadap masyarakat perkotaan.
Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan hutan kota berkaitan dengan ketersediaan lahan, dan masalah tata ruang kota. Masalah ketersediaan lahan untuk hutan kota, serta bagaimana mengefektifkan pemanfaatan lahan yang bersih merupakan kunci dalam pembangunan hutan kota. Semakin hari lahan semakin berharga dan semakin mahal, semakin sedikit untuk hutan kota, sehingga sering terjadi perebutan kepentingan dalam penggunaan lahan dari berbagai sektor aktifitas kota.

PROFESIONALITAS GURU, DALAM BABAK BARU


Pendidikan adalah tolok ukur keberhasilan suatu bangsa. Bahkan, ada kaitan yang erat antara pendidikan dengan kebangkitan suatu bangsa. Tumbuhnya kesadaran, revolusi, ataupun pembaharuan-pembaharuan di suatu negara, hampir dapat dipastikan dipelopori oleh kaum muda terpelajar yang memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi. Tanpa adanya pemuda-pemudi yang berjiwa nasionalis tersebut, sulit kita membayangkan adanya era perjuangan baru yang kita namakan kebangkitan nasional.
            Campur tangan kaum muda terpelajar dalam pendidikan suatu bangsa ternyata mampu memberikan orientasi pada perkembangan zaman yang semakin maju dan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa tersebut. Hal itu sesuai dengan falsafah pendidikan yang diungkapkan JH. Abendanon yakni “Bila Sebuah Bangsa Ingin Maju, Harus Memulai Semuanya dari Pendidikan”. Namun, keberhasilan dan kemajuan dunia pendidikan di Indonesia saat ini mulai dipertanyakan. Hal ini terbukti dengan marginalisasi etika menuntut ilmu pada diri sebagian peserta didik. Para murid hanya terpaut pada mencari ijazah tanpa memandang entitas ilmu itu sebenarnya.
            Keberhasilan pendidikan masing-masing bangsa di dunia ini juga berbeda-beda tergantung dari predikat yang disandang negara itu, berkembang atau maju? Pada negara maju, kita ketahui bersama bahwa prospek pendidikannya lebih terarah dan terfokus dengan ditunjang fasilitas-fasilitas modern dan system pembelajaran internasional. Sedangkan pada negara berkembang, seperti di Indonesia ini, keberhasilan pendidikan juga akan diperoleh secara bertahap serta membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat.
            Proses pengembangan pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa factor, contohnya adalah tenaga pengajar/guru dan kurikulum. Menurut UNESCO, 41-63 % keberhasilan pendidikan di dunia dipengaruhi secara langsung  oleh profesionalitas guru. Di Indonesia, terdapat dua produk hokum yang mengatur tentang system pendidikan dan guru. Dalam UU no 20/2003 tentang sisdiknas termaktub bahwa proses pembelajaran harus dilaksanakan secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Sedangkan profesionalitas guru juga diatur melalui undang-undang nomor 14 tahun 2005. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa guru professional adalah guru yang memiliki kemampuan intelektual, keahlian mentransfer ilmu, memahami perkembangan anak didik, dan kreatif/memiliki seni dalam mendidik.