Indonesia Bicara

Indonesia Bicara

Minggu, 09 Desember 2012

IKA ITS Business Summit 2012














Penguatan Ekonomi Makro Indonesia Berbasis Ekonomi Kerakyatan Melalui Sektor UKM


Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pada kita, masyarakat Indonesia, bahwa Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Penjabaran dari amanat Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frasa “memajukan kesejahteraan umum,” pada hakekatnya merupakan tugas semua elemen bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah arahan pemerintah. Tidak terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang mulia tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Konsep tersebut telah jauh-jauh hari dipikirkan oleh Bung Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia. Beliau, bahkan jauh sebelum Schumacher, yang terkenal dengan bukunya Small is Beautiful, dan Amartya Sen, pemenang Nobel 1998 Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan merupakan bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho, 1997). Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan sebagian atau sekelompok kecil orang. Pandangan tersebut lahir, menurut jauh sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi Rakyat” yang diterbitkan dalam harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan kegundahannya melihat kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta atas kondisi ekonomi rakyat Indonesia, yang waktu itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan cikal bakal dari lahirnya, katakanlah demikian, konsep ekonomi kerakyatan.
Pemikiran akan ekonomi kerakyatan ditindaklanjuti dengan pendirian De Javasche Bank dan seiring berkembangnya dinamika bangsa maka dibentuklah Bank Indonesia. Pembentukan lembaga ini diharapkan mampu sebagai regulator dan pemantau segala kegiatan ekonomi makro dan mikro bangsa ini. Tujuan dan tugas BI saat ini sesuai dengan undang-undang nomor 23 tahun 1999 adalah tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut BI mempunyai 3 tugas utama, yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter tersebut, BI berwenang menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan. Yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang secara umum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan. Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang terjadi di pasar.
Sebagai langkah antisipatif dalam menekan laju krisis ekonomi sehingga nilai tukar rupiah tetap pada posisi stabil maka tidak cukup dengan mengandalkan kekuatan ekonomi makro saja. Namun paradigma sekarang adalah bagaimana menciptakan penyokong-penyokong ekonomi makro tersebut yakni dengan menyusupkan komponen ekonomi mikro yakni sektor UKM (usaha kecil menengah). UKM memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor UKM telah dipromosikan dan dijadikan sebagai agenda utama pembangunan ekonomi Indonesia. Sektor UKM telah terbukti tangguh, ketika terjadi Krisis Ekonomi 1998, hanya sektor UKM yang bertahan dari kolapsnya ekonomi, sementara sektor yang lebih besar justru tumbang oleh krisis. Mudradjad Kuncoro dalam Harian Bisnis Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2008 mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena, pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal. Keempat, berorientasi ekspor. Selama 1997-2006, jumlah perusahaan berskala UKM mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap produk domestik bruto mencapai 54%-57%. Sumbangan UKM terhadap penyerapan tenaga kerja sekitar 96%. Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara. Hanya 8,8% yang berhubungan langsung dengan pembeli/importir di luar negeri.
Pada masa krisis ekonomi yang berkepanjangan, UKM dapat bertahan dan mempunyai potensi untuk berkembang. Dengan demikian UKM dapat dijadikan andalan untuk masa yang akan datang dan harus didukung dengan kebijakan-kebijakan yang kondusif, serta persoalan-persoalan yang menghambat usaha-usaha pemberdayaan UKM harus dihilangkan. Konstitusi kebijakan ekonomi Pemerintah harus menempatkan UKM sebagai prioritas utama dalam pemulihan ekonomi, untuk membuka kesempatan kerja dan mengurangi jumlah pengangguran. Selain itu, adanya hubungan sekuensial antara UKM dan bank juga dapat meminimalisir kesenjangan yang selama ini terjadi antara konglomerat dan masyarakat kelas bawah sehingga kekuatan ekonomi makro Indonesia dapat bertahan ditengah terpaan krisis global hanya dengan sokongan sektor mikro.

Optimalisasi Produksi Dalam Negeri Sebagai Upaya Meningkatkan Kedaulatan Ekonomi Indonesia di Era Perdagangan Bebas


Pertumbuhan sektor industri ini masih jauh dari memuaskan, bahkan gejala de-industrialisasi dini yang sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, kini makin kuat dirasakan. Ini  antara lain terlihat dari pertumbuhan sektor ini yang masih jauh di bawah pertumbuhan PDB. Sektor ini terus mengalami perlambatan hingga mencapai titik terendah pada triwulan ketiga, dengan pertumbuhan hanya 1,3 persen (KADIN, 2010)
Pelemahan kinerja sektor ini telah menimbulkan dampak yang sangat luas bagi perekonomian. Struktur ekonomi menjadi semakin rapuh, karena hanya didukung oleh perkembangan sektor-sektor yang kurang menyerap tenaga kerja formal dan cenderung menyerap pekerja informal. Gejala tersebut perlu segera diatasi karena tidak sejalan dengan pematangan struktur ekonomi agar menjadi lebih tangguh dan modern, yang bisa menyejahterakan lapisan terbesar masyarakat.  Indonesia akan sangat sulit menjadi negara maju jika sektor informal terlalu besar, karena produktivitas perekonomian akan sulit berkembang. Tantangan bagi sektor industri manufaktur terus menghadang.  Akhir-akhir ini deraan krisis listrik kian menjadi-jadi. Ditambah lagi dengan implementasi Asean-China free trade agreement (ACFTA) yang nyaris penuh mulai 2010. Apabila kita melihat secara global, sejatinya ACFTA ibarat dua mata uang yang memiliki keuntungan. Di satu sisi bangsa ini dapat mempromosikan secara gencar produk dalam negeri di pasaran internasional, sementara di sisi lain pembiayaan ekspor produk dalam negeri dapat diminimalisir. Namun keuntungan ini sangat kecil harapannya karena belum didukung oleh kemampuan sumber daya manusia yang memadai.
Di awal tahun 2012, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mendongkrak penggunaan produk-produk dalam negeri dalam mengahadapi perdagangan bebas regional maupun internasional, baik melalui penerapan berbagai macam regulasi teknis dan tata niaga untuk pengamanan pasar dalam negeri, serta program-program promosi seperti kampanye cinta produk dalam negeri, sosialisasi produk dalam negeri maupun pameran-pameran. Pemerintah juga mengajak kepada semua pihak agar terus memberikan dukungan untuk meningkatkan daya saing melalui optimalisasi penggunaan produk dalam negeri dengan menjaga kualitas dan standar. Langkah teknis yang dilakukan pemerintah pertama kali yakni restrukturisasi industri. Langkah ini terkait dengan pemanfaatan teknologi yang efisien, hemat energi, dan ramah lingkungan melalui restrukturisasi permesinan atau peralatan produksi yang lebih eco-friendly. Misalnya pada industri tekstil dan alas kaki, industri gula, serta industri pupuk.
Selanjutnya, menjamin kecukupan bahan baku yang terkait dengan pengembangan industri hulu seperti industri gas,kimia dasar, dan logam dasar. Diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) industri melalui fasilitasi pembangunan unit pelayanan teknis (UPT) untuk mendukung pelatihan dengan keahlian khusus di bidang industri. Dan yang terakhir yakni perbaikan pelayanan publik melalui birokrasi yang efektif, efisien, dan akuntabel.
Sementara itu, di bidang perdagangan, pemerintah melalui kementerian perindustrian telah melakukan inisiatif untuk penguatan pasar dalam negeri melalui penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib untuk produk industri, kebijakan Tata Niaga seperti penerapan Importir Produsen (IP) maupun Importir Terdaftar (IT), penerapan trade defends seperti safeguardanti dumping, dan countervailing duties, serta optimalisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) di semua lini kehidupan dan kegiatan perekonomian. 
Upaya-upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang cukup signifikan, di mana pertumbuhan industri non-migas pada akhir tahun 2011 mencapai 6,83% lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi sebesar 6,46%. “Kita semua patut mensyukuri hal tersebut, di mana peningkatan itu merupakan yang pertama kali sejak tahun 2005,” ungkapnya. Menperin menjelaskan, jika tercatat pertumbuhan industri di atas pertumbuhan ekonomi, itu menjadi salah satu indikator pergerakan dan pertumbuhan industri dalam negeri ke arah yang positif (Kemenperin, 2012).
Peningkatan kemampuan industri dalam negeri harus dipacu melalui kegiatan verifikasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sesuai Instruksi Presiden RI nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Hal tersebut penting dilaksanakan untuk mengukur kemampuan industri nasional dalam menghadapi dinamisme persaingan industri secara global. Berbagai kebijakan diarahkan kepada optimalisasi penggunaan produk dalam negeri, terutama pada pengadaan barang atau jasa oleh Pemerintah. Hal ini sesuai Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010. Sehingga nantinya diharapkan TKDN akan tampil sebagai identitas suatu produk industri dalam negeri. Melalui serangkaian produk hukum yang telah diupayakan pemerintah diharapkan daya saing industri Indonesia dapat teroptimalisasi disertai daya dukung masyarakat dalam menggunakan produk-produk dalam negeri.