Indonesia Bicara

Indonesia Bicara

Jumat, 11 Mei 2012

LANGKAH AWAL DALAM NETWORKING


“Networking”, mungkin itulah resep utama beberapa orang sukses di dunia ini. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa networking atau menjalin hubungan dewasa ini telah menjadi golden ticket bagi setiap orang yang ingin menuju pintu kesuksesan. Zaman sekarang bukan lagi zaman batu dimana akses komunikasi, informasi, atau perdagangan bukanlah sebuah kebutuhan primer. Saat ini kita telah masuk dalam gerbang multidimensi dimana semua akses telah kita rasakan dengan instan serta menjadi kebutuhan wajib setiap orang.
Buah yang dapat kita petik dari alam multidimensi ini adalah perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat. Hal ini merupakan nilai positif tersendiri bagi “pelaku” networking untuk melebarkan sayap ke dunia global. Perkembangan teknologi informasi dapat terbukti dengan munculnya berbagai situs jejaring sosial yang semakin memudahkan setiap orang untuk berkomunikasi dan menjalin relasi dengan orang lain baik dalam skala regional maupun internasional. Disamping memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang tersebut, kepiawaian seseorang dalam menjalin hubungan hendaknya perlu dilatih sejak dini.
Dalam ilmu psikologi, kemahiran networking dapat diasah dengan cara meningkatkan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi (Cooper and Sawaf, 1998). Kecerdasan emosional sendiri terbagai dalam 5 wilayah yakni kecerdasan dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 1995). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat ditarik suatu korelasi bahwa hal terpenting yang dibutuhkan khalayak umum dalam networking adalah kemampuan dalam mengenali emosi orang lain.
Sesungguhnya keterampilan dalam memahami emosi orang lain diperoleh apabila kita telah terbuka pada emosi diri sendiri. Namun dalam membina hubungan pertama baik dalam pekerjaan, organisasi, atau masyarakat umum setidaknya kita harus tahu kondisi lingkungan sekitar kita. Banyak orang mampu memahami kondisi sekelilingnya namun dia tidak tahu bahwa sebenarnya dia telah memahami emosi orang lain juga. Kemampuan dalam memahami inilah yang harus kita asah agar dapat kita manfaatkan untuk mewujudkan visi-visi kita.
Dengan memahami emosi orang lain setidaknya kita akan merasa empati dengan perasaan orang lain. Kita juga bisa memposisikan diri dihadapan lawan bicara kita. Dapat diambil contoh, seorang karyawan hendak mengajukan kenaikan pangkat atas usaha kerasnya dalam memasyarakatkan produk perusahaannya. Di sisi lain kondisi sang bos sedang labil karena telah digugat cerai oleh istrinya. Apabila karyawan ini tidak bisa membaca gesture atau ekspresi muka bos, bukan surat promosi kenaikan pangkat bisa-bisa surat resign yang dia bawa pulang. Dari contoh tersebut, setidaknya kita mendapat gambaran bahwa kita tidak bisa menyamaratakan kondisi psikis diri kita dengan lawan bicara kita. Kasus lain misalnya, dalam mengajukan proposal, surat permohonan, atau mengadakan kerjasama hendaknya posisi kita bukan sebagai subyek bicara. Namun pancinglah lawan bicara kita agar dia bercerita tentang pekerjaannya, perusahaannya, isu-isu terkini, bahkan keluarganya. Hal ini terbukti efektif untuk meningkatkan rasa kepercayaan lawan bicara kita sehingga tujuan yang akan kita sampaikan nantinya lebih mudah diterima (Ekman, 2009).
Inilah sebuah fase dimana kita harus terbuka akan kondisi diri dan lawan bicara kita dalam menjalin sebuah hubungan (networking). Dalam alam globalisasi saat ini, bukan saatnya lagi kita menutup-nutupi kelemahan namun bagaimana cara kita mengubah kelemahan tersebut menjadi sebuah potensi yang dapat dilihat banyak orang. Mengenali emosi orang lain dapat dikatakan hal sederhana yang bisa dilakukan semua orang. Namun tanpa membuka dan mengenali potensi diri sendiri, setiap orang tidak akan pernah mengenali emosi orang lain. Dengan kata lain, memahami kondisi psikis lawan bicara merupakan kunci utama dalam menjalin dan memperluas hubungan baik dengan seluruh elemen masyarakat di dunia.

Harapan Baru Sebuah “Konstitusi”



Dinamika sosial sebuah lembaga merupakan sebuah keharusan sebagai wujud menjaga kelangsungan hidup lembaga tersebut. Tanpa kita sadari lembaga yang telah berdiri di atas dasar-dasar falsafah yang kuat masih dituntut untuk meng-upgrade diri agar teknis penjabaran atas falsafahnya tidak ketinggalan zaman. Dewan Perwakilan Angkatan HMTL sebagai sebuah lembaga legislatif/senat di lingkungan Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) FTSP-ITS merupakan wadah untuk menyalurkan aspirasi anggota HMTL atas kondisi AD/ART saat ini. Masih relevankah atau tidak? Setidaknya, hal tersebut yang akan terlontarkan pertama kali dalam benak kita selaku mahasiswa awam Teknik Lingkungan FTSP-ITS akan kondisi kekinian AD/ART kita.
            Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMTL telah mengalami kajian selama satu bulan terakhir sebelum diputuskan adanya amandemen atas “konstitusi” himpunan ini. Hal ini merupakan bukti bahwa AD/ART bukanlah hal yang sakral dimana tidak dapat dilakukan perubahan atas pasal-pasal di dalamnya. Perubahan AD/ART bukan tidak mungkin juga telah dilaksanakan pada periode-periode sebelumnya sesuai mekanisme konstitusi dasar yang berlaku di KM ITS pada masa itu. Sementara pada periode ini, keinginan untuk melakukan perubahan atas AD/ART dilatarbelakangi atas dasar penyesuaian dengan KD KM ITS sesuai hasil MUBES IV sekaligus memperbarui hal-hal teknis dan redaksional tanpa merubah platform yang ada agar sesuai dengan dinamika dan pemikiran mahasiswa ke depannya.
             Sekarang AD/ART HMTL tengah dalam masa transit, masa ini merupakan masa yang paling tepat untuk menunjukkan peran dan fungsi DPA dalam HMTL. Selain melaksanakan kajian atas ketidakrelevanan AD/ART, DPA juga dapat melakukan jajak pendapat (referendum) kepada masing-masing perwakilan angkatan yang terdaftar sebagai anggota HMTL mengenai isu apa yang diinginkan dibahas atau diinginkan untuk dirubah dalam AD/ART. Hal ini perlu dilakukan mengingat kebutuhan atau kepentingan dari masing-masing anggota HMTL berbeda. Dalam pelaksanaan amandemen, teknis pengubahan atau penggantian materi isi/redaksional AD/ART berada dibawah tangan Tim Adhoc Revisi AD/ART secara langsung. Namun apakah salah apabila pada masa pra-amandemen, DPA meminta masukan dari anggota secara langsung.
            Hal-hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah dalam proses suksesi Ketua HMTL. Secara ideal, seseorang dapat dinyatakan sebagai calon Ketua HMTL apabila telah lolos dalam uji kelayakan yang diselenggarakan oleh KPU. Di sisi lain hal yang paling dibutuhkan oleh seorang calon Ketua HMTL adalah dukungan (panitia pemenangan) dari anggota HMTL. Hal inilah yang seharusnya dicantumkan secara eksplisit dalam AD/ART. Masih berkaitan dengan suksesi, dalam AD/ART HMTL juga belum diatur mengenai keberadaan panitia pengawas pemilu sesuai amanat MUBES IV, bagian ketiga, pasal sembilan. Keberadaan Panwaslu dirasa penting, untuk mengimbangi kerja KPU sekaligus terjadi distribusi peran dalam suksesi Ketua HMTL.
            Hal utama yang belum sempat disinggung dalam AD/ART adalah mengenai pola pengembangan sumber daya mahasiswa. Dalam MUBES IV, Haluan Dasar PSDM dicantumkan dalam satu rangkap dengan KD KM ITS, secara formalitas AD/ART yang telah diamandemen nantinya juga harus mencantumkan mengenai pola pengembangan sumber daya mahasiswa ini. Pencantuman ini dirasa penting agar proses kaderisasi massal terbatas yang diterapkan di lingkungan Teknik Lingkungan FTSP-ITS dapat berjalan secara transparan dan terarah karena memiliki kekuatan hukum yang pasti.
            Inilah sebagian kecil harapan dari amandemen AD/ART HMTL FTSP-ITS saat ini. Sebuah niat kecil perubahan dapat menjadi awal letupan semangat mahasiswa-mahasiswi Teknik Lingkungan ITS untuk mengibarkan bendera HMTL, baik di lingkup kampus maupun di luar, di bawah panji-panji birunya ITS. Inilah AD/ART yang selama ini menjadi harapan baru para penggerak HMTL. Inilah amandemen AD/ART yang siap menjadi visi para Kader HMTL.

Progresif : Integralistik Tanpa Pasif


“Progress”, asing memang bagi kita, orang awam, mendengar satu kata ini. Namun tahukah anda, siklus hidup yang kita jalani selama ini semuanya tak lepas dari sebuah progress. Secara sederhana progress dapat dikatakan sebagai sebuah kemajuan. Apabila kita melihat sejenak kilas balik perjalanan hidup kita, kita telah mengalami berbagai macam progress yang  tanpa kita sadari progrees itulah yang mengantarkan kita masuk dalam gerbang kampus perjuangan, kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya sekarang.
Dalam melewati semua progres-progress itu, sikap angkuh dan egois mulai terpupuk dalam jati diri kita sebagai suatu ciri kepribadian.  Dua sikap itu pula yang selalu terlihat lebih menonjol di saat kita hendak meraih mimpi-mimpi yang telah kita rancang manuskripnya. Dua sikap itu pula yang cenderung mengarahkan kita menjadi sosok manusia arogan.
Sebenarnya arogansi bukanlah hal buruk. Namun apakah sebuah arogansi akan membawa ke arah perubahan yang lebih baik? Bagi kita yang menginginkan sebuah revolusi besar, sudah pasti bahwa arogansi merupakan  jalan pintas  termudah yang dapat ditempuh dalam menyebarkan doktrin-doktrin sebuah kelompok dominasi tanpa melihat apa dan siapa yang ada di bawah mereka. Mereka dengan mudah mengatakan “perubahan”, namun mereka pun tak sadar bahwa apa yang mereka  lakukan bukanlah sebuah “kemajuan”. Paradoks dari hal tersebut, arogansi ternyata dapat mengatasi suatu problem dengan progress yang cepat tanpa memandang dampak selanjutnya. Namun bagi kita yang menginginkan sebuah harmonisasi tatanan, mufakatlah yang menjadi pilihan utama. Biarlah sebuah progress mereka nikmati dalam sebuah kerangka integrasi untuk mewujudkan harmonisasi tatanan itu.
Meninjau masalah integrasi, ada banyak komponen makro dalam diri kita sebagai makhluk sosial yang dapat kita gali dan kita berdayakan untuk mewujudkan harmonisasi diri dan bangsa. Seperti “tangguh”. Mungkin semua orang tidak pernah merasa tangguh dalam mengahdapi masalah hidupnya saat ini, namun pernahkah kita sadar seberapa tangguh kita saat ini, karena telah mengalahkan ratusan calon mahasiswa baru yang hendak masuk kampus pahlawan ini.
Komunikatif merupakan hal paling dasar dalam membangun sebuah integralistik ke depannya. Tanpa komunikasi yang baik, maka sebuah lingkaran integrasi akan nampak rapuh dan bisa dikatakan sebuah integrasi pasif. Jadi, komunikasi dapat dikatakan sebagai cikal bakal dalam membangun sebuah visi. Visi merupakan kunci utama membangun peradaban bangsa ini ke depan. Tanpa visi, kita pun juga akan semakin terjebak dalam ranah abu-abu “arogansi”. Dari sikap visioner inilah, kita dapat mengikis semua keberagaman untuk membentuk satu komunitas baru dengan akulturasi yang harmonis. Apabila kita analogikan dalam kehidupan kampus, kita tidak akan melihat seseorang berasal darimana, hitamkah, merahkah, atau hijaukah? Namun yang kita kenal hanya satu, “Birunya ITS”.
Dengan visi yang kuat pula maka rantai-rantai integralistik dapat terbina erat sebagai konektor dalam menggerakan pemuda-pemudi bangsa, mahasiswa Indonesia. Inilah generasi muda bangsa yang memiliki semangat intelektual tinggi,solutif serta inisiatif dalam mengahadpi tantangan global bangsa. Inilah indonesia yang bangga

Refleksi Konstitusi (MUBES IV)


Perubahan mindset mahasiswa dari sebuah pengamat dan penuntut kebijakan menjadi agen perubahan dan kontrol kebijakan merupakan suatu pola pikir konstruktif dalam membina jiwa dan ruh pemuda-pemudi Indonesia sebenarnya. Kondisi ini membuat para petinggi mahasiswa ITS ingin mewujudkan suatu pola baru yang mengandung makna otodidak agar mahasiswa ITS nantinya tidak canggung dalam menghadapi tantangan panggung perpolitikan yang ada di Indonesia. Melalui Konstitusi Dasar Keluarga Mahasiswa ITS inilah, para mahasiswa, wakil-wakil dari segala jurusan di ITS, wakil-wakil fakultas, wakil-wakil kelompok mahasiswa, wakil-wakil lembaga minat bakat, duduk bersama menentukan pola dasar haluan organisasi kemahasiswaan ITS kini dan nanti.
Musyawarah Besar ke-IV dipilih sebagai jalan utama menampung aspirasi seluruh mahasiswa dalam menentukan haluan dasar ormawa ITS. Sebelas september dua ribu sebelas, KD KM ITS resmi disahkan dan diundangkan. Inilah tonggak sejarah baru bagi mahasiswa yang telah haus akan perubahan, yang telah lapar untuk menyuarakan suara masyarakat kecil diluar sana. Melalui pola kaderisasi yang telah direkontruksi, diharapkan kader-kader biru ITS mampu mengemban amanah rakyat Indonesia serta menjunjung harkat dan martabat mahasiswa.
Inilah KD KM ITS kita. Tidak hanya berisi paparan visi, misi, atau organisasi namun juga mengemban amanah kaderisasi. Ini pula yang harus kita lanjutkan. Melanjutkan perjuangan para kader-kader ITS terdahulu dalam menciptakan sistem dan mengembangkan sistem tersebut menuju mahasiswa yang benar-benar bisa “berdikari”.