Indonesia Bicara

Indonesia Bicara

Minggu, 14 Maret 2010

KALAU GAK BISA MARAH, MENDING JANGAN MARAH-MARAH


Bulan ternyata masih menampakkan senyumnya diantara taburan bintang. Indah memang, karena langit malam itu memang sangat cerah. Sembari melihat eloknya tarian cahaya bulan dan bintang, tak terasa otakku ini mulai mencari file-file yang paling berkesan sebelum mengantarku untuk tidur malam ini. Bagaikan mesin penyortir, pikiranku mulai membuka satu-persatu moment-moment yang pernah kurekam di otakku. Akhirnya aku teringat akan suatu peristiwa yang mungkin sangat memalukan dan tak akan kulupakan.
Ketika aku duduk di bangku SMP, aku mulai aktif dengan organisasi siswa intra sekolah (OSIS). Banyak pengalaman yang telah kudapatkan dari organisasi tersebut. Banyak pula teman dari luar SMP yang kukenal berkat organisasi itu. Memang kurasa saat itu, OSIS adalah segala-galanya dalam menggali potensi yang ada dalam diriku.
Saat aku duduk di kelas 9, pembina dan pengurus harian OSIS dan MPK menyusun panitia MOS 2007/2008 dan Alhamdulillah aku terpilih menjadi panitia intinya. Rasa senang bukan main menyelimuti dada ini karena itulah pertama kalinya aku bisa berhadapan langsung dengan adik-adik kelasku yang baru. Maklum, biasanya aku ditugaskan di sie acara atau kesekretariatan yang hanya bertugas di ruang OSIS. Setelah panitia MOS tersusun barulah kami semua, pengurus OSIS dan MPK, menyusun kegiatan untuk acara MOS 2007/2008. Susunan acara yang kami buat sebenarnya tidak jauh berbeda dengan program OSIS tahun lalu, hanya saja ada beberapa poin yang didilangkan dan ditambah poin pendidikan mental atau semacam “penggojlokan” bagi adik-adik MOS.
Hari pertama MOS bagiku tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya karena memang rangkaian acara hanya pengenalan sekolah dan penyuluhan. Hari itu juga aku ditugaskan untuk menjadi penyuluh UKS dan Adiwiyata untuk kelas 7C dan 7D.
“Selamat pagi adik-adik, siswa baru, MOS 2007/2008!”, salamku kuucapkan pada seluruh siswa baru.
“Pagi, Kak!”, sahut mereka serentak.
Kuawali pagi itu dengan orientasi program UKS dan Adiwiyata. Tak kusangka, nampaknya semua peserta MOS memang antusias dan aktif ketika kegiatan berlangsung dari awal sampai akhir. Buktinya banyak sekali yang ditanyakan siswa-siswa baru itu, misalnya ada yang tanya masalah prestasi SMP 5, program-program OSIS dan masih banyak lagi. Satu hal yang membuatku bangga yakni satu pertanyaan dari anak kabupaten,
“Kak, sampai sekarang kan Kakak masih jadi Koordinator Kader Adiwiyata. Yang mau saya tanyakan, gimana caranya supaya bisa jadi kader Adiwiyata? Soalnya, aku tertarik sama hal itu.”, tanyanya lantang padaku. Sontak saja kujawab,
“Kenapa pingin jadi kader Adiwiyata? Kenapa gak milih OSIS, kan lebih dikenal sama guru?”, sanggahku padanya.
“Tapi kan, kalau kita jadi kader Adiwiyata, secara tidak langsung kita juga berperan melestarikan lingkungan.”, jawabnya dengan lugas, membuat keadaan kelas riuh dan memberikan applause meriah untuknya. Sungguh jawaban profesional bagi anak sepertinya.
*****
MOS hari kedua nampaknya tak ada perbedaan dengan hari pertama hanya saja kali ini yang mengisi materi adalah guru-guru SMP, sedangkan panitia inti hanya mendampingi dan memberikan tugas. Sampai hari kedua pun masih untung belum ada peserta MOS yang tahu skenario OSIS. Kali ini, panitia inti memberikan tugas lebih banyak kepada adik-adik kelas yang harus dikumpulkan pada hari terakhir MOS atau besoknya, salah satu tugasnya seperti meminta tanda tangan guru dan karyawan.
“Semua panitia baik inti atau pendamping, harap mematangkan program yang akan dilaksanakan besok!”, perintah Bu Endang, salah satu pembina OSIS, saat rapat lanjutan pulang sekolah. Sang ketua OSIS-pun mengacungkan tangan,
“Permisi Bu, kalau boleh saya usul, sebaiknya mulai sekarang tiap-tiap kelompok yang sudah dibagi mulai mempersiapkan apa-apa saja yang kurang, agar besok maksimal”.
“Ya sudah, kalau begitu untuk kelompok-kelompok inti yang bertugas besok harus bisa optimal kerjanya, supaya program akhir kita ini bisa lebih baik dari tahun kemarin.”, pinta Bu Sriwati, pembina MPK. Serentak kami pun menjawab,
“Amien…..!”
*****
Kurasa setelah persiapan 1 minggu untuk pelaksanaan MOS 2007/2008, inilah saat yang ditunggu-tunggu seluruh panitia, yakni hari ketiga MOS. Pada pagi harinya seluruh panitia memang diupayakan memasang wajah sangar dan tak bersahabat ke adik-adik dampingnya. Dan seluruh panitia pendamping termasuk aku harus cuek terhadap masalah, keluhan, atau masukan-masukan dari adik-adik dan kalau bisa kita harus pasang wajah kesal atau marah pada mereka. Memang sih, awalnya mereka banyak yang kaget bahkan ngambek karena perlakuan panitia pendampingnya masing-masing. Bahkan ada yang bilang,
“Kakak OSIS JAHAAAT! Aku gak mau dibina kakak lagi”
“Ini kan sekolah favorit, tapi kenapa kok kakak-kakak OSIS-nya jadi galak-galak kayak gini”, gerutu salah satu siswa.
Tetapi hal itu tak menyurutkan semangat mereka untuk mengikuti kegiatan terakhir yakni pentas seni (PENSI) antar kelas tujuh. Hasilnya pun sangat bagus! Rata-rata masing-masing kelas memiliki kekhasan dalam PENSI dan tidak ada yang terkesan acak-acakan.
Acara tidak berakhir hanya sampai disitu. Inilah saatnya seluruh “kekesalan” OSIS harus dilampiaskan pada adik-adik MOS. Semua siswa harus digiring masuk oleh panitia pendamping ke kelas masing-masing dengan jalan dibentak-bentak. Kasihan sih! Tapi mau apa lagi, ini kan juga bagian dari skenario. Saat itu aku dan teman-teman lain mulai memarahi adik-adik dengan dalih acara PENSI GAGAL TOTAL. Aku dan teman-teman panitia mulai mencari kesalahan lain adik-adik khususnya masalah tanda tangan guru dan perilaku. Ada satu siswi yang tingkah lakunya kurang sopan kepada panitia lain saat itu. Langsung saja aku datangi dan aku marahi dia. Dari awal aku membentaknya dia hanya menunduk saja dan kadang-kadang malah senyum-senyum sendiri. Tak tahan melihat keanehan kelakuannya akhirnya muncullah kata-kata mutiara yang keluar dari bibirku,
“Heh, siswa baru, kamu manusia apa anjing! Kamu mau ngeremehin kita! Jangan nglawan ya sama kakak-kakak OSIS, DASAR NGGAK BECUS…! Dipikir dulu kalau mau bertingkah!”. Tapi tetap saja tidak ada respon darinya bahkan dia juga ketawa sambil menunduk. Kesal bukan main hatiku ini, keluar lagilah kata-kata mutiaraku,
Ngapain lihat-lihat kebawah, pake’ ketawa lagi, jangan buat panitia kesal ya, yang salah itu kalian! Dipikir dong pake’ otak!”.
“Masih ketawa juga, ada yang lucu, dik? Ayo cepet jawab! Ada yang lucu?”, bentakku padanya.
“Kalian gak punya otak ya!”, keluarlah kata-kata terakhirku itu sambil menahan tawa yang tak bisa habis karena melihat wajah melas anak-anak itu bahkan ada yang mau menangis juga. Tapi aku juga harus tetap menjaga imageku dihadapan mereka supaya mereka tidak tahu kalau sedang dikerjain.
Setelah tiga kali kubentak-bentak akhirnya dia merespon juga pertanyaanku. Masih dengan wajah tersenyum nyengir, anak itu menjawab,
“Ya wajahnya kakak itu yang lucu. Masa’ marah-marah ke adik MOS-nya tapi kok kayak main kethoprak atau ludruk, gitu? Apalagi marah kok sambil ngempet ketawa gitu, bentar-bentar langsung bentak adik-adik MOS-nya, tapi bentar-bentar juga ketawa-ketawa sendiri, jadi aneh lama-lama! Lihat aja wajah kakak kayak petruk kalau lagi marah!” ocehnya dengan nada ngetawain aku.
Bukan main maluku harus kutaruh di mana. Spontan seluruh kelas pun menertawakanku, tak luput juga panitia pendamping lain yang kebetulan ada di kelas itu. Sontak aku pun keluar meninggalkan ruang kelas itu dengan wajah merah padam dan rasa ingin menertawakan diri-sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Banyak buat yang udah comment, ngasi saran, kritik ato pesan-pesan