Indonesia Bicara

Indonesia Bicara

Kamis, 22 April 2010

LOKALITAS BUDAYA DALAM PAGAR NEGARA


Kalau kita bicara tentang budaya, hal pertama yang muncul dibenak kita adalah cara hidup dan adat istiadat. Cara hidup menurut masyarakat awam adalah bagaimana perilaku manusia sebagai makhluk individu dan sosial dalam mempertahankan eksistensi kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya. Hal inilah yang menjadi tolok ukur pengembangan budaya dari masa nenek moyang kita sampai generasi kita saat ini.

Dalam sangkut paut budaya, kita diibaratkan sebagai suatu komunitas lokal yang sedang membangun kehidupan. Lokalitas adalah penentu kebhinnekaan antara budaya yang satu dengan yang lain dimana budaya-budaya tersebut sedang gencar-gencarnya berkembang. Namun sesuai dengan realita yang ada lokalitas hanya dipandang sebagai sesuatu yang klise. Bahkan lokalitas sudah dimasukkan dalam zona abu-abu yang bisa menyebabkan disintegrasi budaya.

Bicara budaya berarti bicara tempat terbentuknya suatu budaya, sebut saja salah satu contohnya yaitu pasar tradisional. Pasar tradisional merupakan wahana penetrasi dan asimilasi budaya dari segala aspek. Semua orang tanpa memperhatikan status bercampur baur saling bertransaksi dan berinteraksi.

Jika kita tinjau sejenak 65 tahun kemerdekaan bangsa ini, bisa dipastikan kita sudah mengelami berbagai macam pergolakan revolutif yang mampu mengubah sendi-sendi kehidupan bernegara, politik, ekonomi, dan kelas sosial bangsa ini. Tapi apakah semua pergolakan itu juga mengubah afiliasi budaya yang ada waktu itu? Ya, benar adanya. Dalam prospek budaya, bangsa kita saat ini telah menempatkan pasar tradisonal sebagai wahana budaya kelas bawah. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya pasar “non-tradisional” yang bercakar di bumi nusantara.

Dalam konstitusi negara ini, pemerintah wajib memelihara dan mengembangkan budaya lokal sebagai aset keanekaragaman nasional sesuai pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945. Pada pasal selanjutnya, pemerintah juga menerapkan prinsip ekonomi kerakyatan dimana ekonomi kerakyatan tersebut adalah basis utama budaya. Dari konstitusi yang ada sebenarnya sudah jelas bahwa pasar tradisonal merupakan wahana budaya yang dijamin keberadaanya sampai kapanpun.

Di Kota Malang, kita mengenal salah satu pasar tradisonal yang masih eksis sampai sekarang dan selalu beroperasi setiap hari minggu pagi. Pasar ini dikenal masyarakat dengan nama “Wisata Belanja Tugu Kota Malang”. Sepintas terlihat unik pasar ini, karena metode yang digunakan adalah mirip dengan pasar kaget. Waktu yang dipakai pun representatif karena bertepatan dengan hari libur. Tetapi ketika kita telisik lebih jauh melalui pedagang-pedagang yang ada di sana, ada beberapa hal yang mungkin janggal dari pasar lokal ini.

Menurut salah satu anggota ikatan pedagang Wisata Belanja Tugu, pasar tradisional ini sudah beroperasi sejak 9 tahun yang lalu. Dibukanya wisata budaya ini merupakan desakan masyarakat dan pedagang-pedagang Kota Malang akibat berkurangnya minat berkunjung masyarakat ke pasar tradisional.

Bagi para pedagang, banyak hal yang menjadi kendala dalam 9 tahun keberlangsungan pasar ini. Hal utamanya adalah birokrasi. Perijinan menjadi masalah utama yang dapat membuat seorang calon pedagang berpikir puluhan kali untuk memutuskan menjual dagangannya dalam area tersebut atau tidak. Untuk membeli satu stan saja, seorang calon pedagang harus mengurus ijin operasional ke 4 institusi pemerintah sekaligus yakni badan perijinan, dinas perdagangan, dinas UKM, dan yang terakhir adalah di Balai Kota. Proses perijinan ini harus menunggu antara 3 sampai 4 bulan lamanya. Kalau ingin cepat, tentunya harus menyediakan “upeti” pada masing-masing institusi tadi.

Masalah perijinan selesai, tapi masih ada satu lagi masalah pelik yakni retribusi “bayangan”. Setiap calon pedagang ketika mengurus perijinan harus sudah mengantongi surat resmi dari kelurahan atau kecamatan yang akhir-akhirnya pasti dimintai biaya administratif yang kadang kala tidak masuk akal dan itu berangsur terus sampai instansi tingkat atas. Kita pun juga tidak tahu kemana mengalirnya uang-uang tadi. Belum lagi meningkatnya kebutuhan pokok yang juga berimbas pada meningkatnya pajak/retribusi pasar ini. Tapi mengingat banyaknya biaya dan macam-macam perijinan yang harus diurus mengingatkan kita betapa sulitnya mencari nafkah di bidang pengembangan budaya lokal karena jaminan-jaminan pemeliharaan budaya seperti yang sudah diamanatkan dalam konstitusi terhalang oleh urusan “birokrasi”.

Sungguh mencengangkan memang, bahkan ada salah satu pedagang baru yang mau membuka total penghasilannya selama satu bulan terakhir jika dibandingkan dengan biaya-biaya administratif yang harus dipenuhi bulan itu. Dan hasilnya adalah satu banding satu, tidak untung dan tidak rugi. Hasil itu belum dikurangi dengan pembelian stan atau pembelian kebutuhan lainnya.


Inilah realita dari sebuah tirani lokalitas budaya yang dibangun dengan susah payah dan diimplementasikan hanya dengan memandang sebelah mata. Berbeda dengan dominasi mayoritas ekonomi “non-tradisional” yang dengan mudahnya mengeruk uang walaupun tidak dibangun dengan pondasi konstitutif. Uang memang upeti yang nyaman untuk menindas sebuah lokalitas. Walaupun lokalitas itu sudah dibangun dengan aman dalam pagar-pagar konstitusi negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Banyak buat yang udah comment, ngasi saran, kritik ato pesan-pesan