Pendidikan adalah tolok ukur keberhasilan suatu bangsa. Bahkan, ada kaitan yang erat antara pendidikan dengan kebangkitan suatu bangsa. Tumbuhnya kesadaran, revolusi, ataupun pembaharuan-pembaharuan di suatu negara, hampir dapat dipastikan dipelopori oleh kaum muda terpelajar yang memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi. Tanpa adanya pemuda-pemudi yang berjiwa nasionalis tersebut, sulit kita membayangkan adanya era perjuangan baru yang kita namakan kebangkitan nasional.
Campur tangan kaum muda terpelajar dalam pendidikan suatu bangsa ternyata mampu memberikan orientasi pada perkembangan zaman yang semakin maju dan kontribusi positif bagi kemajuan bangsa tersebut. Hal itu sesuai dengan falsafah pendidikan yang diungkapkan JH. Abendanon yakni “Bila Sebuah Bangsa Ingin Maju, Harus Memulai Semuanya dari Pendidikan”. Namun, keberhasilan dan kemajuan dunia pendidikan di Indonesia saat ini mulai dipertanyakan. Hal ini terbukti dengan marginalisasi etika menuntut ilmu pada diri sebagian peserta didik. Para murid hanya terpaut pada mencari ijazah tanpa memandang entitas ilmu itu sebenarnya.
Keberhasilan pendidikan masing-masing bangsa di dunia ini juga berbeda-beda tergantung dari predikat yang disandang negara itu, berkembang atau maju? Pada negara maju, kita ketahui bersama bahwa prospek pendidikannya lebih terarah dan terfokus dengan ditunjang fasilitas-fasilitas modern dan system pembelajaran internasional. Sedangkan pada negara berkembang, seperti di Indonesia ini, keberhasilan pendidikan juga akan diperoleh secara bertahap serta membutuhkan proses dan waktu yang tidak singkat.
Proses pengembangan pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa factor, contohnya adalah tenaga pengajar/guru dan kurikulum. Menurut UNESCO, 41-63 % keberhasilan pendidikan di dunia dipengaruhi secara langsung oleh profesionalitas guru. Di Indonesia, terdapat dua produk hokum yang mengatur tentang system pendidikan dan guru. Dalam UU no 20/2003 tentang sisdiknas termaktub bahwa proses pembelajaran harus dilaksanakan secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Sedangkan profesionalitas guru juga diatur melalui undang-undang nomor 14 tahun 2005. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa guru professional adalah guru yang memiliki kemampuan intelektual, keahlian mentransfer ilmu, memahami perkembangan anak didik, dan kreatif/memiliki seni dalam mendidik.
Dari penjelasan di atas, yang banyak mendapat sorotan dari pengamat pendidikan akhir-akhir ini adalah profesionalitas pendidik khususnya pada poin kedua dan keempat yakni “keahlian mentransfer ilmu dan memiliki kreatifitas/seni dalam mendidik”. Berdasarkan data dari sebuah lembaga survey tentang gaya mengajar guru SMA di beberapa propinsi di Indonesia, diketahui bahwa sekitar 43 % guru mengajar dengan penyampaian teori, 23 % guru mengajar dengan metode mencatat, 18 % guru mengajar dengan pemberian tugas, dan 16 % guru mengajar dengan metode aplikatif/sharring (LSI, 2006).
Dari data tersebut, tampak jelas jika predikat “negara berkembang” masih lekat disandang Indonesia karena kreatifitas guru dalam mendidik hanya menempati urutan terakhir. Ini juga bukti bahwa amanat UU no 20/2003 tentang pelaksanaan kegiatan pembelajaran secara PAKEM belum terealisasi secara optimal. Kalau kita analogikan, peran dan fungsi pendidik yang ideal, bukan hanya sebagai actor dalam kelas melainkan juga seorang script writer, sutradara, produser, bahkan figuran dalam suatu kegiatan belajar mengajar. Artinya, guru pada suatu waktu bisa bertindak sebagai promotor ilmu, pemberi komando saat pembelajaran berlangsung, penengah ketika terjadi masalah pada pelajaran, penyedia alat bantu pembelajaran, bahkan pendamping bagi peserta didik pada saat proses belajar mengajar.
Factor eksternal yang juga turut andil sebagai kendala menjadi seorang guru professional adalah jumlah peserta didik yang jauh tidak sebanding dengan jumlah pendidik. Data terakhir menyebutkan bahwa perbandingan guru dan murid di Indonesia adalah 1 : 40. Dimana setiap seorang guru harus menangani kurang lebih 40 orang siswa dalam satu kelas. Hal tersebut belum mencakup keseluruhan jumlah murid yang harus dididik apabila seorang guru harus mengajar lebih dari satu kelas. Sebagai contoh, guru bidang studi “A” harus mengajar 4 sampai 6 kelas yang masing-masing berisi 40 siswa. Bisa dibayangkan, masalah yang sudah ada pada guru tersebut dipastikan bertambah baik secara social maupun psikologi. (Kompas, 2007)
Inilah wajah pendidikan bangsa kita saat ini. Pengelolaan manajemen pendidikan negeri yang setengah hati ternyata membuat ketimpangan pragmatis berkepanjangan. Peraturan pendidikan yang telah dibuat pemerintah bisa saja berwujud “es”, namun mengapa ketika sampai pada masyarakat hanya tinggal “air”? Apabila hal ini terus-menerus dibiarkan, maka tak ayal 10 tahun lagi kader-kader penerus bangsa akan terlihat seperti ban-ban kurang angin yang tidak bisa menggerakkan roda-roda kebangkitan bangsa. Bahkan jika hal semacam ini masih tidak dikelola secara professional, akan lebih baik apabila bangsa ini mengimpor tenaga pendidik agar bisa menjawab “tanda tanya besar” profesionalitas guru. Atau justru peserta didiknya yang harus diekspor untuk mengawali babak baru kebangkitan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Banyak buat yang udah comment, ngasi saran, kritik ato pesan-pesan