Masyarakat dunia sedang akrab dengan istilah ‘global warming’ atau pemanasan global. Berbagai kalangan memfokuskan perhatiannya pada masalah ini karena sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia. Para penggiat lingkungan terus bekerja keras melakukan upaya-upaya rekonstruktif untuk menyelamatkan lingkungan dari ancaman kerusakan, bahkan kepunahan.
Pemanasan global dapat diartikan sebagai peningkatan suhu udara di permukaan bumi dan di lautan. Para peneliti mengatakan bahwa peningkatan suhu ini dimulai sejak abad ke-20 dan diprediksikan akan terus mengalami peningkatan. Fenomena ini disebut ’pemanasan global’. Namun sebagian besar ilmuwan menggunakan istilah perubahan iklim, dengan alasan bahwa yang terjadi sekarang ini tidak hanya persoalan bertambah panasnya suhu udara, tetapi juga terjadinya perubahan iklim yang sangat signifikan dan tak terduga-duga.
Apapun istilah yang dipakai, yang jelas isu pemanasan global kini menjadi isu sentral dimana setiap umat manusia di atas bumi ini memiliki tanggungjawab untuk mengatasinya. Tidak ada manusia, atau kelompok, atau bangsa yang bisa mengatakan bahwa mereka tidak harus bertanggung jawab akan kerusakan alam sekarang ini, karena semua makhluk di atas bumi ini berada dalam satu ’rahim’bumi. Tak terkecuali kita di Indonesia.
Indonesia menempati urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut biodiversity country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna, dan banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia. Ironisnya, penebangan hutan telah memperpanjang daftar jenis-jenis yang masuk dalam kategori kepunahan (endangered).
Hutan Indonesia juga merupakan hutan terbesar dan terkaya di Asia, namun berada dalam krisis yang sangat mengkuatirkan. Setiap tahun lebih dari 2 juta hektar hutan rusak dan musnah. Jika dibandingkan dengan luas lapangan sepak bola, maka 300 lapangan musnah setiap tahun! Informasi resmi menunjukkan bahwa penebangan liar diduga telah mencapai 17-30 juta m3 per tahun. Jumlah ini ekuivalen dengan 400.000-800.000 ha hutan ditebang secara liar setiap tahun.
Beberapa LSM melaporkan bahwa penebangan liar sudah mencapai 52 persen dari total produksi kayu bulat yang bersumber pada hutan alam. Industri perkayuan diperkirakan mampu menerima pasokan kayu bulat sampai 80 juta m3 per tahun. Sedangkan hutan alam secara resma hanya dapat memasok sekitar 29,5 juta m3 per tahun. Kekurangan yang besar dari pasokan resmi tersebut telah menciptakan celah terjadinya penebangan liar. Kerusakan hutan tidak hanya memusnahkan keanekaragaman hayati yang tidak akan tergantikan, tapi juga mengakibatkan meningkatnya pemanasan global. Sementara itu, sekitar 30 juta jiwa masyarakat Indonesia sangat menggantungkan hidup kepada sumber daya hutan.
Sesungguhnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi penebangan liar. Mulai dari mengeluarkan berbagai kebijakan dalam bentuk Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah (PP) sampai pada ’pengerahan’ berbagai organisasi atau kelompok-kelompok pencinta lingkungan untuk melibatkan masyarakat agar aktif terlibat dalam penyelamatan lingkungan. Hasilnya pun tidak terlalu mengecewakan sebetulnya, dimana kita dapat melihat banyaknya kasus-kasus penebangan liar yang berhasil diseret ke pengadilan.
Masalahnya, semua upaya tersebut jelas belum optimal dan terpadu. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan jumlah kerusakan yang telah terjadi dan upaya perbaikan yang telah dilakukan, pesimisme segera terbayang, akankah kita mampu mengendalikan kerusakan hutan dalam jangka waktu sepuluh tahun ke depan? Salah satu upaya yang telah ditempuh pemerintah adalah dengan ide pengembangan hutan kota.
Hutan kota adalah suatu lahan yang bertumbuhkan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan, pada tanah negara yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dengan luas yang solid 0,4 hektar merupakan ruang terbuka hijau, pohon-pohon serta areal tersebut ditetapkan pejabat yang berwenang sebagai Hutan Kota. (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan, tahun 2002).
Menurut penulis, hutan kota sangat strategis menjadi fokus utama pemerintah dan masyarakat, karena ide ini lebih membumi dan manfaatnya langsung dirasakan. Apalagi sebagian besar masyarakat Indonesia sesungguhnya berada di perkotaan. Tanpa mengabaikan pentingnya melestarikan hutan-hutan asli, hutan kota lebih mudah disosialisasikan pemanfaatannya pada masyarakat luas.
Jika kita berbicara tentang hutan yang sebenarnya, dapat dipastikan bahwa sebagian besar masyarakat akan menganggap bahwa itu bukan persoalan mereka. Masyarakat Indonesia secara tidak kasat mata memiliki karakter ’tidak terlalu perduli’ dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan dirinya. Itu sebabnya banyak kegagalan ditemui ketika kita berbicara mengenai pentingnya melestarikan hutan.
Hutan, bagi sebagian masyarakat Indonesia bukanlah tanggungjawab mereka, sekalipun disadari bahwa banyak komponen kehidupan mereka sangat bergantung pada hasil hutan. Hutan kota menjadi salah satu pilihan jitu menyelamatkan lingkungan karena beberapa hal:
1) Menciptakan kesejukan dan kenyamanan, karena dalam hutan kota terjadi proses fotosintesis yang mengubah CO2 di udara menjadi O2 dan H2O. Kemampuan tanaman dalam mengkonsumsi CO2 tersebut menurut Grey dan Deneke (dalam ’Urban Forestry’, 1998) setiap satu jam, satu hektar daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2, jumlah CO2 tersebut equivalen dengan jumlah CO2 yang dihembuskan oleh sekitar 200 orang dalam waktu yang sama pada saat bernafas.
2) Hutan kota berfungsi menjaga kesuburan tanah, karena partikel tanah pada hutan kota mengandung koloid tanah yang lebih baik dibanding tanah perkotaan. Koloid tersebut bermuatan positif sehingga mampu mempertahankan unsur hara yang ada dan melepaskannya sesuai dengan kebutuhan tanaman. Keberadaan unsur hara pada koloid tanah bersifat fleksibel, artinya dapat dipertukarkan dengan unsur hara sejenis yang lebih baik bila unsur hara yang ada sudah tidak memenuhi syarat lagi. Dengan demikian tanaman akan terus mendapatkan unsur hara yang terbaik untuk kebutuhannya (Mudyarso dan Suharsono, dalam ’Peranan Hutan Kota dalam Pengendalian Iklim Kota’, 1992).
3) Hutan kota berfungsi sebagai penyaring bagi bahan pencemar, karena partikel tanah yang mengandung koloid (dari bahan organik) mengandung ion-ion yang mampu menyerap logam berat atau bahan beracun lainnya yang terkandung dalam air. Pada hutan kota, koloid tanah yang ada akan mampu mengikat logam berat yang tercampur dalam air hujan seperti Cu dan Mg sehingga air yang masuk ke dalam tanah yang diserap oleh akar relatif berkurang banyak kandungan logam beratnya.
4) Hutan kota dapat mempertinggi daya resapan air dan menyimpannya di dalam tanah untuk kemudian dapat dipergunakan lagi sehingga terjadi siklus hidrologis.
5) Hutan kota juga berperan penting dalam konservasi tanah melalui pencegahan erosi. Erosi umumnya terjadi karena adanya aliran permukaan (run off) dari air hujan yang membawa partikel-partikel tanah dan bahan organik tanah sehingga tanah menjadi tandus. Pada areal hutan kota, run off tersebut tidak terjadi karena : adanya tumbuhan yang cukup rapat, adanya sistem perakaran, dan adanya bahan organik pada koloid tanah. Konsep hutan kota terbukti banyak berhasil mengatasi berbagai kerusakan lingkungan di negara lain.
Kehutanan Perkotaan (urban forestry) bahkan menjadi suatu cabang ilmu sejak disadarinya bahwa sangat penting mempelajari lingkungan, khususnya pohon, baik mengenai budidayanya, pengelolaannya, maupun fungsi dan kegunaannya secara phisiologik, sosial dan ekonomi terhadap masyarakat perkotaan.
Masalah utama yang dihadapi dalam pembangunan hutan kota berkaitan dengan ketersediaan lahan, dan masalah tata ruang kota. Masalah ketersediaan lahan untuk hutan kota, serta bagaimana mengefektifkan pemanfaatan lahan yang bersih merupakan kunci dalam pembangunan hutan kota. Semakin hari lahan semakin berharga dan semakin mahal, semakin sedikit untuk hutan kota, sehingga sering terjadi perebutan kepentingan dalam penggunaan lahan dari berbagai sektor aktifitas kota.
Ironisnya, pembangunan gedung-gedung untuk mal dan tempat sejenis justru sangat marak di setiap daerah. Terlihat sekali betapa mudahnya para pengembang mendapatkan ijin membangun gedung pencakar langit untuk mal atau town square, namun sebaliknya dengan hutan kota. Di sisi lain, tidak ada sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak mengembangkan hutan kota.
Fakta ini jelas menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang makin parah masih patut dipertanyakan.
Masalah lain adalah kesadaran dan tanggungjawab masyarakat yang masih minim tentang perlunya menjaga lingkungan, mulai dari lingkungan rumah sampai pada lingkungan yang lebih luas. Masyarakat kita masih menganggap bahwa persoalan lingkungan adalah persoalan dan tanggungjawab pemerintah semata. Lihat saja ketika suatu bencana terjadi, misalnya banjir. Sebagian besar masyarakat masih terus menimpakan kesalahan total pada pemerintah yang tidak perduli pada nasib mereka, tanpa menyadari bahwa perilaku hidup sehari-hari mereka juga berpotensi menyebabkan bencana, seperti membuang sampah di kali atau menebang pohon-pohon di sekitar perumahan.
Hutan kota, jelas merupakan salah satu solusi jitu mencegah kerusakan lingkungan. Namun konsep ini juga tidak akan terwujud jika tidak dibarengi dengan komitmen dan upaya-upaya yang bersifat holistik dari berbagai pihak. Beberapa fokus kebijakan yang dapat ditempuh adalah :
1) Meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang bahaya kehancuran hutan bagi kehidupan. Strategi paling mendasar secara formal adalah dengan mengintegrasikan program tersebut dengan kurikulum pendidikan mulai tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Sedangkan upaya informal adalah dengan memberdayakan kelompok-kelompok komunitas melalui penyuluhan-penyuluhan, sosialisasi, dan pelatihan-pelatihan. Perlu disadari bahwa untuk masyarakat Indonesia, kelompok-kelompok komunitas sangat berpengaruh dan lebih mudah didekati secara informal daripada melalui pendekatan bersifat politis.
2) Menciptakan keterkaitan pasar untuk memerangi penebangan liar. Hal ini dapat ditempuh dengan menutup atau menghilangkan pasaran bagi kayu ilegal.
3) Mengurangi investasi di perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam penebangan ilegal di Indonesia. Sekalipun akan berdampak pada sektor lapangan kerja dan perekonomian sebagian masyarakat, namun pilihan ini harus ditempu demi kepentingan jangka panjang.
4) Memberi sanksi berat semua pihak yang terkait dengan penebangan liar dan pengrusakan lingkungan dan memberikan insentif bagi masyarakat atau pihak-pihak yang terbukti secara aktif terjun dalam pelestarian hutan.
5) Penerapan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dalam sektor industri dan bidang lain.
Upaya apapun, hanya akan berhasil jika diiringi dengan komitmen yang sungguh-sungguh. Goodwill dan tindakan pemerintah yang tepat, serta keterlibatan masyarakat dalam menangani kerusakan lingkungan sangat dirindukan alam itu sendiri demi kemaslahatan hidup umat manusia. Seluruh komponen masyarakat perlu diingatkan bahwa hutan adalah ’rumah’ yang nyaman yang tidak pernah kehabisan sumber daya bagi kehidupan manusia, jika dilestarikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Banyak buat yang udah comment, ngasi saran, kritik ato pesan-pesan