Normalisasi kini menjadi isu penting
bagi semua elemen kepengurusan Keluarga Mahasiswa ITS Surabaya (KM ITS).
Berbagai spekulasi muncul pada awal pengukuhan kabinet BEM ITS di awal tahun
ini. Dalam salah satu artikel yang dirilis oleh web resmi ITS, disebutkan bahwa
dengan mundurnya jadwal pelantikan presiden BEM hingga awal januari tahun ini
membuka peluang bagi KM ITS untuk mengubah periodisasi kepengurusan secara
struktural dari Juni-Juli menjadi Januari-Desember. Isu ini juga telah diangkat
dalam lingkup dewan presidium dimana nantinya akan diagendakan dalam MTT.
Sebagai seorang staf salah satu
organisasi dalam lingkup KM ITS, terus terang saya belum paham betul mengenai
arti dari sebuah “normalisasi”. Darimanakah KM ITS ini memulai “normalisasi”? Sejenak
kita membahas mengenai KM ITS yang telah memiliki aturan-aturan dasar sejak
1994 hingga produk konstitusi terbaru pada 2011 berupa Mubes IV bagi sebagian
pihak mungkin dirasa belum sesuai dengan kondisi real KM ITS saat ini. Terlepas
dari unsur mencari kesalahan, Mubes IV yang berisi KDKM dan HD PSDM dirasa
belum bisa menjadi satu-satunya jawaban atas segala permasalahan internal yang
timbul dalam lingkup organisasi KM ITS. Buktinya yakni paa ranah kerja
masing-masing lembaga yang menurut saya belum terdistribusi dengan tepat. Dalam
benak saya, terkadang muncul spekulasi mengenai unsur pemisahan antar lembaga
KM ITS sehingga fungsi check and balances
kurang tercitrakan.
Masuk pada ranah eksekutif, dalam KDKM
secara eksplisit dijelaskan bahwa ranah kerja BEM ITS berada pada ranah sosial
politik, BEM Fakultas pada ranah sosial kemasyarakat, serta HMJ pada ranah
keprofesian. Dari hal ini, kita bisa mengambil poin mengenai ranah sosial
kemasyarakatan, dimana hampir di tiap tingkat kepengurusan ormawa ITS selalu
menempatkan ranah sosial kemasyarakatan dalam satuan kerja departemen. Hal ini
sebagai bentuk aplikasi dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mengemban amanah
bidang pengabdian masyarakat. Poin terpenting yang dapat disoroti adalah sejauh
mana batasan masing-masing ormawa bisa mengemban ranah sosial kemasyarakatan
ini. Contoh konkret yang saya ketahui adalah program Kampung Binaan yang
digagas oleh HMTL FTSP – ITS. Saat ini kampung binaan telah memasuki tahun
ketiga dengan capaian masterplan sudah sampai pada aplikasi teknologi tepat
guna berupa filter air dan peningkatan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, BEM
FTSP juga menginisiasi program kerja baru tahun lalu yaitu Kampung FTSP.
Apabila kita melihat dari kacamata KDKM maka hal pertama yang akan muncul dalam
benak kita adalah legalitas kampung binaan yang dipertanyakan. Namun apabila
kita melihat dari kacamata kegiatan maka program kampung binaan sejatinya
adalah program pengembangan keprofesian teknik lingkungan dengan nilai tambah
pemberdayaan masyarakat. Dalam pasal 19 ayat 3 KDKM ITS dijelaskan bawa HMJ
berhak mengadakan kegiatan di luar keprofesian dan di luar lingkup jurusan
dengan terlebih dahulu dikoordinasikan dengan elemen-elemen KM ITS terkait.
Menurut saya pasal ini multitafsir dan perlu dibuat hukum postif (undang-undang)
mengenai ranah kerja atau hubungan kerja ormawa KM ITS agar ranah keprofesian
masing-masing HMJ bisa berfungsi dan ranah sosial kemasyarakatan masing-masing
BEM Fakultas tidak dikebiri.
Masih menyinggung mengenai ranah sosial
kemasyarakatan dalam tubuh KM ITS, BEM ITS melalui Kementerian Sosial
Masyarakat bulan ini menggagas program kerja baru yakni YELP (Youth
Environmental Leader Program). Jujur, sebagai masyarakat KM ITS pada umumnya
saya belum tahu mengenai mekanisme pelaksanaan program ini ke depannya. Tetapi
berkaca kembali pada KDKM, ranah kegiatan seperti ini seharusnya
dititikberatkan pada BEM Fakultas. Bukan bermaksud mengurangi hak prerogatif
Presiden BEM dalam membentuk satuan kerja kementerian namun ranah sosial
kemasyarakatan BEM ITS seharusnya lebih fokus pada hal-hal makro, misalnya
program pembinaan pedagang kaki lima, program pembinaan lingkungan pada
pasar-pasar tradisional di Surabaya atau mengadakan sosialisasi mengenai
implementasi jaminan sosial nasional bagi buruh/karyawan. Sebagai konklusi
bahasan ini, setiap elemen KM ITS memiliki penafsiran sendiri terkait aplikasi
ranah kerjanya namun diperlukan hukum positif yang bersifat eksplanatif
mengenai hubungan kerja dan ranah kerja masing-masing elemen KM ITS.
KM
ITS sebagai representasi Indonesia memiliki lembaga-lembaga tinggi yang
bersifat sentral dan struktural. Flashback
sejenak pada bahasan sebelumnya mengenai fungsi check and balances pada lembaga KM ITS, Mahkamah Mahasiswa yang
secara yuridis dijelaskan dalam pasal 37 KDKM ITS merupakan lembaga yudikatif
dan bersifat sentral di KM ITS. Menurut pandangan saya, kedudukan MM yang
bersifat sentral mengakibatkan putusan yang dikeluarkan MM bersifat final. Poin
yang bisa disoroti akan hal ini, adalah tugas dan wewenang MM yang belum diberdayakan.
Dengan belum diberdayakannya tugas dan wewenang MM maka dapat menimbulkan
keraguan akan putusan MM yang bersifat final tersebut.
Pasca ditetapkannya hasil Mubes IV pada
2011 lalu, fungsi MM seolah kabur karena MM baru akan bertindak setelah mendapat
laporan dari pihak yang dirugikan. Dalam pandangan saya, MM sebagai
representasi mahkamah agung dan mahkamah konstitusi dalam suatu negara memiliki
wewenang untuk melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif
dan legislatif. Bentuk koordinasi yang dapat dilaksanakan adalah dalam hal
pemilihan dan pelantikan pengurus lembaga KM ITS. MM seharusnya memiliki
wewenang untuk melantik anggota DPM pada periode berikutnya. Selain itu, MM
juga memiliki wewenang untuk memberikan putusan final atas sengketa Pemira
serta mengkaji kebijakan dibawah Ketetapan Mubes. Hal ini sesuai dengan fungsi
mahkamah agung dan mahkamah konstitusi dalam sistem tata negara Indonesia. Dari
sisi organigram KM ITS, garis koordinasi MM seakan terputus dengan BEM dan DPM.
Pada pasal 51 ayat 3 KDKM ITS, disebutkan bahwa kepesertaan MM dalam MTT
(Musyawarah Tingkat Tinggi) adalah sebagai peserta peninjau. Idealnya, MM
sebaiknya diikutsertakan secara aktif dalam setiap forum besar KM ITS terkait
kedudukannya sebagai lembaga hukum (yudikatif).
Mubes IV, bagi sebagian kader KM ITS
mungkin dianggap terlalu sempurna bagi KM ITS sekarang. Hal ini terkait dari
sumber daya mahasiswa yang mungkin belum siap meng-implementasikan hasil dari
Mubes IV atau hasil dari Mubes IV yang perlu diamandemen karena tidak
memperhatikan kondisi riil kader-kader KM ITS. Terlepas dari hal-hal tersebut,
sudah saatnya kita menyadari bahwa Mubes IV adalah jawaban dari segala
permasalahan yang ada di lingkup KM ITS ini. Menurut saya Mubes IV masih relevan
sebagai pedoman KM ITS mencapai tujuan dan visinya, namun “kepala juga tidak
jauh-jauh dari tangan”. Sesempurna apapun KDKM dan HD PSDM tetap membutuhkan penjelasan
teknis (eksplanasi) serta sumber daya mahasiswa yang menyadari bahwa Mubes IV
adalah “tujuan” bukan “masalah”.