Prospek penegakan hukum
dibidang pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup saat ini tengah berada
dalam kondisi yang riskan (Wihardandi,
2012). Meksipun DPR bersama Presiden telah menetapkan UU. 32 tahun 2009,
hal ini bukanlah angin segar bagi proses rehabilitasi lingkungan Indonesia.
Bagaimana tidak, masih kerap muncul konflik antara masyarakat lokal dengan
pengusaha maupun pemerintah terkait sumber-sumber pengelolaan lingkungan.
Disisi lain, pembangunan berkelanjutan memungkinkan pemanfaatan kearifan dan
sumber-sumber daya sosial sebagai modal dalam pelestarian fungsi lingkungan
hidup. Kurangnya perlindungan atau penghormatan terhadap kearifan lingkungan
yang dikembangkan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup dan
pemanfaatan sumber daya alam, antara lain disebabkan oleh kurangnya pemahaman
para pihak terkait (stakeholders) dan
tidak adanya alur informasi yang baik mengenai manajemen pengelolaan
lingkungan.
Sejumlah konflik yang
muncul mengenai lingkungan lebih banyak melibatkan masyarakat adat dengan
masyarakat lain yang tidak mengenal
kearifan lokal suatu masyarakat tentang bagaimana mengelola lingkungannya
secara tradisional termasuk pelarangan pemilikan tanah secara adat. Karena itu,
langkah yang tepat dalam usaha untuk mewujudkan kearifan lingkungan adalah
dengan mengkaji kembali tradisi yang ada di masyarakat tentang usaha mereka
untuk mewujudkan keseimbangan kehidupan dengan lingkungannya. Tradisi dan
aturan lokal yang tercipta dan diwariskan turun menurun untuk mengelola
lingkungan merupakan materi penting bagi penyusunan kebijakan yang baru tentang
lingkungan.
Dalam undang-undang nomor
32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan dijabarkan mengenai asas
pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan ekoregion dan kearifan lokal.
Sedangkan dalam undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan dijabarkan
juga bahwa pengurusan hutan harus memperhatikan dinamika aspirasi adat dan
budaya. Secara formil, kedua kebijakan ini sudah ideal dan dapat melindungi hak
asazi masyarakat/komunitas adat Indonesia (indigenous
people). Namun secara praksis, undang-undang tentang kehutanan, pengelolaan
lingkungan hidup, dan undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM mengalami
banyak kendala. Pemerintah, pihak industri, LSM lingkungan, dan masyarakat
belum memiliki prosedur yang jelas mengenai peran masing-masing pihak dalam
suatu kawasan adat. Semua pihak melakukan penafsiran secara mandiri sehingga
dalam hal pemanfaatan sumber daya alam dan pelaporan pelanggaran kerap terjadi
kebingungan karena tidak memiliki aturan teknis yang jelas.
Realita yang ada saat ini
membuktikan bahwa ketiga regulasi tersebut saling terpisah dan tidak memiliki
unsur korelitas dalam hal penjabaran peran serta masyarakat dan pengakuan
hak-hak masyarakat/komunitas adat. Tak ayal, 68 persen pelanggaran lingkungan
hidup disebabkan karena konflik horizontal antara masyarakat dengan developer (Tribun, 2011). Hal seperti inilah yang tidak diinginkan bangsa ini
ke depannya, mengingat kasus Mesuji dan Bima di awal tahun 2012 telah
menciderai lokalitas budaya setempat dan berujung pada kasus pelanggaran HAM
akibat pengelolaan lingkungan yang setengah hati.
Pemerintah seakan menutup
mata begitu juga dengan LSM lingkungan hidup di dunia. Mereka hanya menuntaskan
ranting masalah tanpa mengusut akar masalah yang ternyata berujung pada
regulasi negeri ini. Masyarakat/komunitas
adat dengan sistem pengelolaan tradisional atau kearifan tradisional memiliki
peranan sangat penting dalam menjaga dan melestarikan alam serta lingkungan.
Bahkan dalam kehidupan keseharian, sistem pengelolaan lingkungan secara
tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adat terbukti mampu menjaga
kelestarian alam dan lingkungan. Dapat diambil contoh, pelestarian alam oleh masyarakat adat di
Papua sudah dilakukan sejak dulu. Hal ini bisa dilihat dari tradisi upacara
adat di masyarakat suku Tepera Distrik Depapre Kabupaten Jayapura. Masyarakat
suku Tepera mengenal tradisi Tiyatiki untuk melakukan perlidungan dan
pelarangan selama beberapa lama untuk tidak boleh mencari atau memancing ikan
di wilayah tertentu yang sudah diberikan tanda pelarangan. Begitu juga dengan
hak ulayat masyarakat adat Pulau Tiga Natuna yakni mengkeramatkan daerah-daerah tertentu,
larangan membunuh atau menangkap hewan tertentu, penghormatan terhadap laut,
pemeliharaan terumbu karang, dan penggunaan teknologi penangkapan sederhana.