Keraton Yogyakarta sejatinya dibangun diatas darah perseteruan keluarga Surakarta. Berawal dari pemberontakan RM. Said (SP. Mangkunegara I) kepada SISKS Paku Buwono I, yang berujung pada campur tangan VOC sehingga lahirlah perjanjian Gianti. Dari situlah muncul sosok Pangeran Mangkubumi yang akhirnya didapuk menjadi Suryaning Jagad Nagari Ngayogyakarta. Pangeran Mangkubumi ketika muda dikenal dengan nama Pangeran Mangkubumi Sukowati. Ketika menjabat sebagai raja Yogya, beliau bergelar Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana I. Tak pernah disangka sebelumnya, dibalik sosok idealis Ngarsa Dalem kaping I ini ternyata beliau juga seorang arsitek ulung. Bahkan Dr. F. Pigeund dan Dr. L. Adam memberi predikat beliau sebagai "de bouw meester van zijn broer Sunan P.B. II" (arsitek dari kakanda Sri Sunan Paki Buwana I).
Ngarsa Dalem kaping I sangat memperhatikan detail bentuk keraton yang akan menjadi kediaman sekaligus basis pemerintahan dan pembinaan di Yogyakarta ini. Ini terbukti dari penempatan lokasi keraton yang terletak di tengah-tengah dan membentang antara Sungai Code dan Sungai Winanga serta dari Tugu Golong-Giling (sekarang Tugu Pal Putih) sampai Krapyak. Daerah keraton sendiri terletak di hutan Garjitawati. dekat desa Beringin, desa Pacethokan. Dipilih lokasi ini memiliki makna khusus, karena area hutan ini merupakan area peristirahatan bagi keluarga raja/bangsawan Mataram, Kartasura dan Surakarta ketika hendak melakukan perjalanan religi menuju Astana Imogiri. Walaupun kondisi hutan ini sangat kurang memadai untuk dijadikan sebuah kerajaan dan benteng namun tidak membuat Ngarsa Dalem kaping I kurang akal. Beliau membelokkan aliran Sungai Code sedikit ke timur dan aliran Sungai Winanga sedikit ke barat.
Kemahiran tata arsitektur ISKS HB I ini tercermin dalam sebuah tembang macapat mijil berikut :
Kali Nanga pacingkok ing puri,
Gunung Gamping ing kulon,
Hardi Mrapi ter wetan prenahe,
Candi Jonggrang mangungkang ing kali,
Palered Magiri,
Girilaya kidul
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibangun pada tahun 1756 M atau 1682 tahun Jawa. Berdirinya keraton ini diperingati dengan candrasengkala memet di Pintu Gerbang Kemagangan dan Pintu Gerbang Gadung Mlati yang berbunyi "Dwi Naga Rasa Tunggal" dan "Dwi Naga Rasa Wani", keduanya bermakna tahun 1682.
Luas keraton Yogyakarta adalah 14000 m2, dimana di dalamnya terdapat banyak bangunan bersejarah yang sarat akan makna religi dan filosofi budaya. Dimulai dari halaman Keraton, kita lihat mengarah ke utara :
- Kedhaton/Prabayeksa
- Bangsal Kencana
- Regol (Pintu Gerbang) Danapratapa
- Sri Maganti
- Regol Sri Maganti
- Bangsal Poncowati
- Regol Brajanala
- Siti Inggil
- Tarub Agung
- Pagelaran (dengan tiang/saka guru berjumlah 64, yang melambangkan usia Nabi Muhammad saw, sekaligus menunjukkan identitas Islam di keraton ini)
- Kepatihan (sekarang komplek kantor gubernur)
- Tugu
Sedangkan apabila kita melihat ke arah selatan, maka bangunan-bangunan yang akan ditemui adalah :
- Regol Kemagangan
- Bangsal Kemagangan
- Regol Gadung Mlati
- Bangsal Kemandungan
- Regol Kemandungan.
- Siti Inggil
- Alun-Alun Kidul
- Krapyak (sebuah podium tinggi yang dunakan Ngarsa Dalem untuk memperhatikan tentara keraton ketika berlatih)
Seluruh kompleks keraton ini dikelilingi oleh sebuah tembok besar atau benteng (basa jawa : Beteng) dengan panjang 1 km (berbentuk persegi panjang), tingginya 3,5 meter, dan lebarnya 3-4 meter. Dari tembok-tembok ini terdapat lima buah pintu gerbang keraton dengan dunia luar sebanyak 5 buah, yang juga melambangkan Rukun Islam. Pintu gerbang atau plengkung itu antara lain Plengkung Tarunasura/Wijilan (sebelah timur laut), Jogosuro/Ngasem (barat daya), Jogoboyo/Taman Sari (barat), Nirboyo/Gading (selatan), Tambakboyo/Gondomanan (timur). Dari kelima plengkung ini hanya 2 yang masih memiliki bentuk asli yakni plengkung Nirboyo dan Tarunasura, sedangkan plengkung yang lain sudah beralih fungsi.
Makna Simbolik Keraton Yogyakarta
Diawali dari Krapyak, yang merupakan gambaran dari tempat asalnya roh-roh. Di sebelah utaranya terdapat Kampung Mijen. Mijen berasal dari bahasa Jawa : Wiji, yang berarti benih. Inilah makna filosofis dari sebuah siklus perjalanan manusia. Di kanan kiri Krapyak selalu ditanami pohon Asem dan Tanjung. Kedua pohon ini tidak pernah ditebang dan apabila ada yang mati maka akan diganti dengan pohon berjenis sama. Pohon Asem memiliki makna "mengasemkan" (menarik rupanya) sedangkan Tanjung memilik makna dijunjung. Artinya seorang bayi yang baru lahir senantiasa dalam keadaan fitrah lahiriah atau suci dan selalu dimanja oleh kedua orang tuanya. Makna lain dari pohon Asem berarti laki-laki, sedangkan Tanjung berarti perempuan. Dari gambaran ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sejatinya sejak dalam kandungan laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama.
Meneruskan perjalanan selanjutnya sampailah kita di plengkung Nirbaya/Gading. Plengkung ini menujukkan batas periode manusia dari masa kanak-kanak menuju masa Pra-Puber.
Selanjutnya kita menuju Alun-Alun Kidul. Disini kita bisa melihat 2 pohon beringin besar yang dijuluki masyarakat dengan nama Wok (berasal dari kata Bewok). Nama ini memiliki arti bagian vital anggota tubuh kita dan bermakna masuknya manusia ke masa pubertas. Jumlahnya ada 2 memiliki makna laki-laki. Hal ini merujuk pada syarat akikah anak laki-laki yang mengharuskan menyembelih kambing sebanyak 2 buah. Masing pohon beringin ini memilik nama resmi Supit Urang. Makna dari nama ini melambangkan perempuan. Supit urang merupakan hiasan kepala/hiasan sanggul yang digunakan seorang perempuan ketika akil baligh. Kedua pohon beringin ini dipagar berbentuk persegi dengan motif busur setengah lingkaran yang juga melambangkan tumbuhnya rasa cinta antara laki-laki dan perempuan.
Di sekitar kawasan alun-alun ini terdapat 5 buah jalan yang bertemu menjadi satu menuju ke arah alun-alun. Ini sarat akan makna panca indra kita yang harus senantiasa bersatu dengan hati kita untuk menjalankan perintah Gusti Kang Hangakarya Jagad, Allah swt. Di kawasan alun-alun sendiri hampir tidak pernah ditemui tanah, namun yang banyak ditemui adalah pasir yang berasal dari Segara Kidul. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon kweni dan Pakel yang berarti manusia sudah memiliki sifat wani dan menginjak masa akil baligh.
~~ bersambung (2) ~~