Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 telah
mengamanatkan pada kita, masyarakat Indonesia, bahwa Negara Indonesia didirikan
dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Penjabaran dari
amanat Undang Undang Dasar 1945 tersebut, khususnya yang berkaitan dengan frasa
“memajukan kesejahteraan umum,” pada hakekatnya merupakan tugas semua elemen
bangsa, yakni rakyat di segala lapisan di bawah arahan pemerintah. Tidak
terlalu salah jika, mengacu pada definisi tujuan pendirian negara yang mulia
tersebut, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia harus dicapai dengan
menerapkan prinsip “dari, oleh, dan untuk rakyat.”
Konsep tersebut telah jauh-jauh hari
dipikirkan oleh Bung Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia. Beliau,
bahkan jauh sebelum Schumacher, yang terkenal dengan bukunya Small is Beautiful, dan Amartya Sen,
pemenang Nobel 1998 Bidang Ekonomi, berpendapat bahwa ekonomi kerakyatan
merupakan bentuk perekenomian yang paling tepat bagi bangsa Indonesia (Nugroho,
1997). Orientasi utama dari ekonomi kerakyatan adalah rakyat banyak, bukan
sebagian atau sekelompok kecil orang. Pandangan tersebut lahir, menurut jauh
sebelum Indonesia merdeka. Bung Hatta melalui artikelnya yang berjudul “Ekonomi Rakyat” yang diterbitkan dalam
harian Daulat Rakyat (20 November 1933), mengekspresikan kegundahannya melihat
kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah penindasan pemerintah Hindia Belanda.
Dapat dikatakan bahwa “kegundahan” hati Bung Hatta atas kondisi ekonomi rakyat
Indonesia, yang waktu itu masih berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan
cikal bakal dari lahirnya, katakanlah demikian, konsep ekonomi kerakyatan.
Pemikiran akan ekonomi kerakyatan
ditindaklanjuti dengan pendirian De
Javasche Bank dan seiring berkembangnya dinamika bangsa maka dibentuklah
Bank Indonesia. Pembentukan lembaga ini diharapkan mampu sebagai regulator dan
pemantau segala kegiatan ekonomi makro dan mikro bangsa ini. Tujuan dan tugas
BI saat ini sesuai dengan undang-undang nomor 23 tahun 1999 adalah tujuan BI
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan
tersebut BI mempunyai 3 tugas utama, yaitu menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter tersebut, BI berwenang menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan
memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkan. Yang dimaksud dengan
kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat
inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga
barang-barang secara umum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi
dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi
permintaan dan dari sisi penawaran. Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan
tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi
tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu, untuk
dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan
adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah
maupun swasta. Tanpa dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat inflasi
yang sangat tinggi selama ini akan sulit dikendalikan. Selanjutnya nilai tukar
rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang
terjadi di pasar.
Sebagai langkah antisipatif dalam menekan
laju krisis ekonomi sehingga nilai tukar rupiah tetap pada posisi stabil maka
tidak cukup dengan mengandalkan kekuatan ekonomi makro saja. Namun paradigma
sekarang adalah bagaimana menciptakan penyokong-penyokong ekonomi makro
tersebut yakni dengan menyusupkan komponen ekonomi mikro yakni sektor UKM
(usaha kecil menengah). UKM memiliki peran penting dalam perekonomian
Indonesia. Sektor UKM telah dipromosikan dan dijadikan sebagai agenda utama
pembangunan ekonomi Indonesia. Sektor UKM telah terbukti tangguh, ketika
terjadi Krisis Ekonomi 1998, hanya sektor UKM yang bertahan dari kolapsnya
ekonomi, sementara sektor yang lebih besar justru tumbang oleh krisis.
Mudradjad Kuncoro dalam Harian Bisnis Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2008
mengemukakan bahwa UKM terbukti tahan terhadap krisis dan mampu survive karena,
pertama, tidak memiliki utang luar negeri. Kedua, tidak banyak utang ke
perbankan karena mereka dianggap unbankable. Ketiga, menggunakan input lokal.
Keempat, berorientasi ekspor. Selama 1997-2006, jumlah perusahaan berskala UKM
mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap
produk domestik bruto mencapai 54%-57%. Sumbangan UKM terhadap penyerapan
tenaga kerja sekitar 96%. Sebanyak 91% UKM melakukan kegiatan ekspor melalui
pihak ketiga eksportir/pedagang perantara. Hanya 8,8% yang berhubungan langsung
dengan pembeli/importir di luar negeri.
Pada masa krisis ekonomi yang
berkepanjangan, UKM dapat bertahan dan mempunyai potensi untuk berkembang.
Dengan demikian UKM dapat dijadikan andalan untuk masa yang akan datang dan
harus didukung dengan kebijakan-kebijakan yang kondusif, serta
persoalan-persoalan yang menghambat usaha-usaha pemberdayaan UKM harus
dihilangkan. Konstitusi kebijakan ekonomi Pemerintah harus menempatkan UKM
sebagai prioritas utama dalam pemulihan ekonomi, untuk membuka kesempatan kerja
dan mengurangi jumlah pengangguran. Selain itu, adanya hubungan sekuensial
antara UKM dan bank juga dapat meminimalisir kesenjangan yang selama ini
terjadi antara konglomerat dan masyarakat kelas bawah sehingga kekuatan ekonomi
makro Indonesia dapat bertahan ditengah terpaan krisis global hanya dengan
sokongan sektor mikro.